Pendidikan Islam Pada Masa Bani Abasiyah
A.
D
inasti Abassiyah
Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah adalah melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani
Umayyah.
Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa Dinasti ini
adalah keturunan Abbas, paman nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh
Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbass.[1]
Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al-Mamum (813-833 M).
Kekayaan yang dimanfaatkan Harun Arrasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan, dokter, dan farmasi didirikan,
Kritik sastra, filsafat, puisi, kedokteran, matematika, dan astronomi berkembang pesat tidak saja di Baghdad tetapi juga di Kufah, Basrah, Jundabir, dan Harran.
Pada masa-masa awal sudah ada sekitar 800 orang dokter dengan berbagai kehliannya, apoteker, dan kelengkapan-kelengkapan kesehatan lainnya. Sementara putranya al-Mamun, dikenal sebagai khalifah yang cinta ilmu. Pada masanya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia memberi gaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah. Salah satu karya besarnya adalah pembangunan Bait al-Hikmah sebagai perpustakaan besar.
.[2]dan digunakan juga sebagai p
usat penerjemah yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar dan menjadi perpustakaan umum dan diberi nama
Darul Ilmi
yang berisi buku-buku yang tidak terdapat di perpustakaan lainnya. Pada masa Al-Mamun inilah Bagdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan, kekota inilah para pencari
ilmu
datang berduyun-duyun.[3]
B.
Perkembangan ilmu pengetahuan
Puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreatifitas bani Abbas sendiri. Sebagian diantarannya sudah dimulai pada awal kebangkitan islam. Lembaga pendidikan sudah berkembang, ketika itu lembaga pendidikan ini terdiri dari dua tingkat :
1.
Maktab/Kuttab
dan mesjid,
yaitu lembaga pendidikan terendah tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan, dan tempat para remaja belajar dasar-dasar agama, seperti tafsir, hadis, fiqh, dan bahasa.
2.
Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin memper dalam ilmunya, pergi keluar daerah untuk menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Ilmu yang dituntut umumnya ilmu agama, pengajarannya biasanya berlangsung di mesjid-mesjid atau di rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut, dengan memanggil ulama ahli kesana.
Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Disamping itu kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, ya
p
itu :
1.
Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan bani Abbas, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk islam. Asimilasinya berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam islam. Pengaruh Persia, sangat kuat dibidang pemerintahan. Selain itu bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika, dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk dalam banyak bidang ilmu terutama filsafat.[4]
2.
Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Pertama, pada khalifah al-Mansyur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Mamun hingga tahun 300H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan yaitu dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300H, terutama setelah adanya pembuatan kertas, bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.[5]
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan dibidang ilmu pengetahuan umum.
Tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode penafsiran, pertama, tafsir bi al-matsur yaitu, interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi SAW dan para sahabatnya. Kedua, tafsir bi al-rayi yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran dari pada hadis dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan Abbasiyah, akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al rayi (tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran
filsafat dan ilmu pengetahuan, hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh, dan terutama dalam ilmu teologi perkembangan logika dikalangan umat islam sangat mempengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut.[6]
Perhatian dan minat orang Arab Islam pada masa paling awal tertuju paada bidang ilmu pengetahuan yang lahir karena motif keagamaan. Kebutuhan untuk memahami dan menjelaskan al-Quran, kemudian menjadi landasan teologis yang serius. Interaksi dengan dunia kristen di Damaskus telah memicu munculnya pemikiran spekulatif teologis yang melahirkan madzhab pemikiran Murjiah dan Qodariyah
.
Untuk mempelajari teologi di sediakan madrasah yang sudah diakui oleh negara yaitu Madrasah Nizhamiyah, khususnya untuk mempelajari madzhab syafii dan teologi asyariyah.[7] . Bidang kajian berikutnya adalah Hadits, yaitu perilaku, ucapa
n
, persetujuan Nabi. Yang kemudian menjadi ajaran paling penting, awalnya hanya diriwayatkan dari mulut kemulut, kemudian direkam pada abad ke-2 hijriyah.[8]
Lahirnya ilmu kalam atau teologi itu dikarenakan dua faktor :
1.
Untuk membela islam dengan bersenjatakan filsafat,
2.
Karena semua masalah termasuk masalah agama telah berkisar dari pola rasa ke pola akal dan ilmu.[9]
Faktor yang menyebabkan pesatnya perkembangan sains dan filsafat di masa dinasti Abassiyah, diantarannya adalah :
1.
Kontak antara slam dan Persia menjadi jembatan perkembangan sainsdan filsafat karena secara kultural persia banyak berperan dalam pengembangan tradisi keilmuan Yunani.
2.
Etos ke ilmuan para khalifah Abbasiyah tampak menonjol terutama pada dua khalifah terkemuka yaitu Harun Ar-rassyid dan Al-Mamun yang begitu mencintai Ilmu.
3.
Peran keluarga Barmak yang sengaja dipanggil oleh khalifah untuk mendidik keluarga istana dalam hal pengembangan keilmuan.
4.
Aktifitas penerjemahan literatur-literatur Yunani kedalam bahasa Arab demikian besar dan ini didukung oleh khalifah yang memberi imbalanyang besar terhadap para penterjemah.